Senin, 18 April 2011

MENIKAH :)

Saat menjadi mahasiswa adalah saat yang paling menyenangkan. Kita punya banyak teman, punya banyak kegiatan, juga punya banyak pengalaman. Kita juga masih bisa melakukan apapun yang kita mau. Mau ikut organisasi, mau ikut olahraga, mau main game, atau mau diem aja, juga tidak apa-apa. Dan waktupun terus berlalu, akhirnya saat kelulusan itupun tiba. Senyuman pun muncul membuncah ketika baju toga dikenakan, ketika baju kebaya dipergunakan. Orang tua pun datang, bangga akan kesuksesan yang telah diraih oleh anaknya. Sesekali beliau mengusap airmata, airmata bahagia. Tak terasa, anaknya kini sudah dewasa, sudah siap untuk berkelana menjemput kesuksesan yang luas membentang di cakrawala dunia.
Saat itu, semuanya bahagia, terlebih bagi mereka yang telah mendapatkan pekerjaan sebelum kelulusan tiba (Alhamdulillah, saya termasuk yang satu ini :) ). Ketika semuanya berakhir, kitapun masih merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan menjadi seorang sarjana, kebahagiaan menjadi seorang yang lebih dewasa. Selanjutnya adalah saatnya mencari pekerjaan, atau lebih tepatnya menjemput pekerjaan. Akhirnya semua senjatapun dipersiapkan, curriculum vitae, ijazah, TOEFL, pakaian terbaik, sepatu paling mengkilap, dan yang paling penting adalah ridho dari kedua orang tua.
Semua peluang yang ada pun dicoba, lari dari satu bursa karir ke bursa karir yang lainnya. Dipanggil interview ke jakarta, ke surabaya, kemanapun peluang itu ada, kejarlah sampai engkau mendapatkannya. InsyaAllah Allah SWT akan memberikan perkerjaan yang terbaik dan yang membawa kebahagiaan untuk kita. *Nasihat untuk para freshgrad, untuk menghindari stress berkepanjangan saat menunggu lowongan pekerjaan ada baiknya untuk mengambil kursus, part-time atau aktivitas positif lainnya. (semangat!!! buat rekan-rekanku yang masih berjibaku menjemput pekerjaan yang tak kunjung datang) Tak jarang pula, rekan-rekan seperjuangan saya yang jatuh hati pada dunia pendidikan, menjadi seorang dosen, menjadi seorang pengajar yang luar biasa. Ada pula rekan saya yang menjatuhkan pilihannya pada dunia usaha, menjadi seorang entrepreneur di kota Surabaya.
Selama kita bekerja, baik kita sadari atau tidak, pastilah kita pernah merasa kesepian. Merasa ada yang belum sempurna dari diri kita. Inginnya kita pulang dari bekerja, ada yang menyambut penuh hangat “mas mau dibikinin apa? teh/kopi? mau dipijitin jg ta kakinya? (sambil menampilkan senyuman terbaiknya, seakan semua rasa letih yang ada, hilang sirna, oleh kehangatan senyuman istri tercinta)” “ini mas, masakan kesukaan mas, hayu dimakan, supaya segar kembali :) ” “mas anak kita tadi sudah bisa berdiri lo mas, luccccuuuuu de kaya ayahnya” “hehe, siapa dulu ayahnya :) “. Hmmmmmmmmmmmmmmm, betapa sempurnanya :)

Minggu, 05 September 2010

:) BERINTROSPEKSI DAN MEMBENAHI DIRI UNTUK MENGEJAR KETERTINGGALAN...

by Edi Bahari on Saturday, September 4, 2010 at 10:46pm

Mengejar Hidup Bahagia
KALAU sampai pecah konflik Indonesia versus Malaysia, siapa yang Anda bela? Hampir pasti jawabannya Anda membela Indonesia, negeri Anda. Tapi, jawabannya bisa sangat berbeda saat Anda dihadapkan pada pertanyaan, andai dilahirkan hari ini, Anda memilih negeri mana yang memberikan peluang hidup sehat, aman, serta sejahtera yang berkelanjutan?
Pertanyaan fundamental itulah yang menjadi dasar pemeringkatan seratus negara oleh majalah mingguan terkemuka Newsweek baru-baru ini. Pemeringakatan tersebut didasarkan pada lima kategori. Yakni, pendidikan, kesehatan, kualitas hidup, daya saing ekonomi, dan lingkungan politik.
Melibatkan para tokoh dan ahli terkemuka dari Amerika dan Asia, termasuk peraih penghargaan Nobel Ekonomi Joseph E.Stiglitz, hasil survei yang berlangsung berbulan-bulan itu menempatkan Finlandia, Swiss, Swedia, Australia, Luksemburg, Norwegia, Kanada, Belanda, Jepang, dan Denmark di posisi sepuluh besar. Indonesia berada di peringkat ke-73. Posisi tersebut terdapat di bawah beberapa negara Asia, termasuk di lingkup ASEAN, seperti Singapura (ke-20), Malaysia (ke-37), Thailand (ke-58), Tiongkok (ke-59), dan Filipina (ke-63).
Terlepas dari masih adanya beberapa kelemahan, makna penting yang bisa diambil dari pemeringkatan terbaru tersebut, indikator ekonomi, seperti produk domestik bruto (GDP), bukan segalanya. Padahal, ukuran GDP itulah, antara lain, yang mengakibatkan Indonesia masuk sebagai anggota elite G-20 sehingga SBY bisa duduk semeja dengan Barack Obama, Angela Merkel, Nicolas Sarkozy, dan lain-lain. Sesuatu yang selama ini sangat kita bangga-banggakan.
Mengutip Jacques- Y ves Cousteau, peneliti dunia bawah laut dan lingkungan asal Prancis, fokus pada pertumbuhan produksi dan konsumsi yang menjadi ukuran GDP sering mengabaikan aspek-aspek yang terkait dengan kualitas hidup manusia. Padahal sukses pembangunan manusia yang hakiki bukanlah pemenuhan yang bersifat bendawi, melainkan penciptaan “kebahagiaan”.
Dari situlah mengapa peringkat negeri-negeri kecil seperti Swiss, Singapura, bahkan Kuba (ke-50) masih diatas negara-negara dengan GDP tinggi, seperti Tiongkok, Indonesia, dan India (ke-78). Standar layanan kesehatan, kuailitas lingkungan hidup, sistem pendidikan, tegaknya sistem hukum, tata laksana pemerintahan yang baik, kondisi bebas korupsi, dan lain-lain adalah hal-hal dasar yang dibutuhkan oleh warga untuk hidup lebih baik dan bahagia.
Banyak hal yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dari hasil pemeringkatan majalah terkemuka Amerika tersebut. Dalam kasus “persaingan” dengan Malaysia, misalnya, kita harus jujur dan mengakui bahwa peringkat negeri tetangga itu memang lebih baik. Ambil contoh pengembangan mutu pendidikan dan riset. Untuk dua urusan tersebut, negara itu terlihat lebih serius.
Coba lihat berapa banyak peneliti Indonesia yang dulu kita sekolahkan ke Amerika, Australia, yang saat ini justru senang bekerja di Malaysia. Alasannya sederhana, Negeri itu punya konsep riset yang jelas. Selain itu, negeri jiran tersebut lebih menghargai kemampuan mereka dan mau menggaji mereka dengan lebih baik.
Di Indonesia, banyak hasil penelitian yang sekadar ditumpuk sebagai arsip. Selain itu, banyak penelitian hasil kerja sama perguruan tinggi dan lembaga pemerintah yang bersifat abal-abal. Sebab, yang penting dari penelitian seperti itu adalah bagi-bagi “uang” proyek. Penelitian asal-asalan seperti itu sudah jelas tak memberikan manfaat apa-apa bagi bangsa, tapi sekadar modus korupsi yang dibungkus tujuan “ilmiah”.
Masih banyak yang harus kita benahi di negeri ini. Ketidak tegasan kita terhadap Malaysia dalam sengketa perbatasan laut lalu, misalnya, merupakan bukti rapuhnya kita membangun manusia Indonesia yang “bahagia”. Hal tersebut tidak cukup hanya dijawab dengan melemparkan kotoran ke Kedubes Malaysia. Yang jauh lebih penting adalah berintrospeksi dan membenahi diri untuk mengejar ketertinggalan.(*)

Kamis, 22 Juli 2010

sketsa malam

Orang Menjadi "BESAR&TERKENAL" karena pendapat dan pikirannya diterima dan dikagumi orang sebagai PENDAPAT DAN PIKIRAN YANG BENAR DAN LUHUR...

Senin, 19 Juli 2010

Rabu, 07 Juli 2010

STATUS...HANYA STATUS...DIBUAT JADI STATUS???

Pengisian kolom status perkawinan dalam KTP masih terus dipertanyakan. Pada pelaksanaannya saat ini digunakan istilah KAWIN bagi yang telah menikah dan TIDAK KAWIN bagi yang belum.

Tentu saja TIDAK KAWIN berkonotasi orang itu tidak akan kawin atau tidak ada keinginan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.

Penggunaan istilah inilah yang terus menjadi masalah dan diperdebatkan mulai dari Bidang Kajian dan Pembinaan Bahasa Indonesia di Pusat Bahasa Depdiknas hingga DPR.

Banyak yang berpendapat bahwa penggunaan kata TIDAK KAWIN atau KAWIN tidak tepat lagi. Kajian yang telah dilakukan membawa pada kesimpulan bahwa istilah tersebut akan lebih tepat menggunakan frase lain sesuai dengan tingkat usia penduduk.

Diperoleh rumusan yang akan diajukan ke DPR untuk digodok sehingga dapat menjadi peraturan resmi.

Berikut ini adalah draft rancangannya:
- Usia 17-20: Belum KAWIN/Keburu KAWIN.
- Usia 21-25: Kepingin KAWIN/Telanjur KAWIN.
- Usia 26-30: Kapan KAWIN/Kenapa KAWIN.
- Usia 31-35: Kebelet KAWIN/Telat KAWIN.
- Usia 36-40: Tidak Laku KAWIN/Menyesal KAWIN.
- Usia 41-45: Tidak KAWIN-KAWIN/Beberapa Kali KAWIN.
- Usia 46-50: Tidak Ingin KAWIN/Lupa Sudah KAWIN

Anda masuk kategori yang mana ?
Kalau saya pribadi lebih cenderung ke istilah Nikah atau Belum Nikah, sebab kalau kawin dan tidak kawin kurang tepat. Kenapa saya bilang begitu? coba anda bayangkan orang yang statusnya belum menikah bisa saja kan sudah pernah “kawin” 
Tapi kalau menggunakan istilah Nikah / Belum Menikah punya bukti otentik yang syah dan kuat yaitu dengan adanya Buku Surat Nikah. Sehingga Status yang tertera di dalam KTP itu dapat dipertanggung jawabkan.

Jumat, 21 Mei 2010

"Bukan Generasiku"


negeri kita…kamu dan “saya” menurut sejarah “katanya”
dijajah lebih kurang 350 thn.
kalau dirata-rata , 350 Tahun (terjajah) dibagi 60 - 65 Tahun (umur bertahan hidup rata-rata
manusia sekarang ), berarti 6 (enam) generasi
telah terlewatkan dari si “penjajah”.

Keterangan :1 generasi = 60 – 65 tahun.

Hmmmm,,,
“katanya” lagi…negeri kita,kamu,dan “saya” itu
….”merdeka” dari si “penjajah” baru 66 thn menjelang 67
tahun (1945-2012).


……5 (LIMA) GENERASI lagi untuk
mencapai “titik NOL”!!!
Kenapa?
inikan baru 1 generasi yang katanya
sudah merdeka hampir 67 tahun (1945-2012) lihat keterangan diatas


1 generasi = 60 – 65 tahun.
Pertanyaannya?

Apakah siap dan sudah ada generasi yg katanya “merdeka” itu sekarang
setelah enam
generasi sudah terlewatkan dari si penjajah ???


Jangankan urusan yang lain,urusan “perut” rakyat negeri ini saja
butuh waktu
sekitar 60 thn lagi kedepan untuk menyelesaikannya (sekarang
baru masuk generasi ke 2) .


Sekali lagi, ……5 (LIMA) GENERASI lagi untuk
mencapai “titik NOL”!!!

Barulah kita “mungkin” memulai yang namanya merasa benar-benar “menikmati merdeka” di negeri ini…
Memulai dari titik Nol.......hmmmmm.


rewrite
by.EBF= Edi Bahari FadiL

trah dan turunan Nabi Adam A.S..